Rintik hujan membasahi kaca jendela kendaraan yang ku
tumpangi ini. Bus jurusan Samarinda – Kutim terus melaju, padahal hujan dengan
asyiknya mengguyur jalanan yang naik turun bak bukit transversal. Aku duduk
dengan memeluk tas ranselku yang hanya besar ukurannya, namun isinya tidak
sebanding, ya aku tidak membawa semua pakaian karena kurasa hanya sebentar
saja. Ya kurasa. Ku keluarkan jaket tebal berbulu berwarna merah yang kubeli di
Filipina tahun lalu saat memenangkan sebuah undian. Untuk sekadar menghangatkan
diri, dari dinginnya suhu malam ini.
Perjalanan Samarinda – Kutim menghabiskan waktu 6 jam, ya 6
jam untuk aku berdiri tepat di depan halaman rumah di kampungku. Aku melihat
kondisi dalam bus, penumpang-penumpang lain sudah banyak yang tertidur, dengan
didukung cuaca yang mengiringi perjalanan kami. Sungguh ya Tuhan, ini baru
setengah perjalanan. Bus yang ini sebenarnya mengalami keterlambatan, yang
awalnya berangkat jam 5 sore harus berakhir dengan jam 6, sungguh waktu memang
hal yang berharga, ada sebagian tadi di terminal yang protes tidak mau tahu,
sehingga beberapa dari mereka memilih untuk tidak menaiki bus yang tidak
disiplin ini. Teman dudukku di bus ini seorang lelaki yang jika di kira-kira
usianya 4 tahun lebih tua dari angka 22 yang menggenapi diriku ini.
Entah, angin hujan ini sebuah sihir atau apa, dia meniupkan
udara di sela-sela rinai hujan untuk menghimbauku ikut tertidur. Sejujurnya
hatiku menahan, jangan sampai aku tidur disaat perjalanan seperti ini,
mengingat aku hanya seorang diri, takut terjadi apa-apa. Tapi, mataku ini
otot-otonya mengendur menegang seolah tak bisa di ajak kompromi. Sungguh aku
benci. Mengingat aku sebenarnya kelelahan juga, setengah hari kuliah, kemudian
pergi ketempat kerja, dan tiba-tiba mendapat panggilan dari Abang Faris, bahwa
ibu akhir-akhir ini sedang mengalami gangguan. Abang bilang kadang ibu
berbicara sendiri di telepon, menyeberang dengan memanggil-manggil nama
seseorang kemudian mengejarnya, dan saat ditanyai ibu bilang tidak ada yang
perlu di khawatirkan, tidak ada apa-apa.
Ya Tuhan, ada apa dengan ibuku ? apakah beliau merasa
kesepian karena anak-anaknya, terutama anak perempuannya tidak berada di sisi
ibu..Ku akui ibu saat ini hanya tinggal dengan Abang Faris dan Farhan, adikku.
Kami 4 bersaudara, dengan Mbak Fiona yang sudah menikah dengan seorang pegawai
kantoran dan akhirnya tinggal beda pulau dengan kami. Untuk mengunjungi ibu
saja kadang setahun sekali, di karenakan juga pengeluaran biaya yang harus di
pertimbangkan. Kemudian Abang Faris, sejak dahulu kakakku yang ini telah
berjanji untuk selalu berada di sisi ibu, tak mau meninggalkannya, oleh sebab
itulah abang memilih mendirikan usaha sembako di sebelah rumah. Selanjutnya
hadir Farhan, dia baru kelas 1 SMA, tapi bukan dikarenakan dia anak bungsu
harus manja, tidak sungguh tidak. Farhan anak yang ulet, sepulang sekolah dia
membantu abang menjaga toko, kemudian sore hari dia melakukan pekerjaan rumah,
menyeterika bajunya dan baju abang juga ibu, mencuci pakaian, menyapu daun-daun
nangka, mangga dan rambutan yang berguguran.
Aku merasa seolah-olah aku tidak bisa melakukan apapun untuk
ibu, aku kuliah juga karena beasiswa, dan uang hasil kerja paruh waktuku,
sebagian ku sisihkan untuk ibu, biaya tambahan kuliah, dan fasilitas diriku
sendiri. Tapi, aku malu pada abang dan Farhan, harusnya aku dan Mbak Fiona yang
ada di sisi ibu, tapi kami malah pergi jauh-jauh. Dulu aku pernah bertanya saat
Mbak Fiona dipaksa ibu kuliah di luar pulau, ibu bilang, ‘‘Jadilah wanita
berkarir di luar sana, cari uang banyak- banyak, berbuat baiklah, jangan sampai
kamu dipandang rendah nanti, jangan mengulangi nasib ibu nak.’’
Itulah jawaban yang dilontarkan ibu saat aku bertanya di
usiaku yang 12 tahun itu. Kini 10 tahun berlalu, aku sudah bisa dikatakan
setelah lulus kuliah akan mendapat tempat yang mapan. Tapi, aku akan memboyong
ibu untuk ikut denganku, aku ingin hidup dengan ibu. Sejak kecil, sejak Mbak
Fiona umur 11 tahun bapak sudah tak pernah terlihat lagi, disaat kami semua
hendak berpamitan berangkat sekolah. Ibu bilang, bapak akan kembali, untuk
mengangkat kerasnya kehidupan kita, ibu bilang bapak pergi ke tempat yang jauh.
Tapi, kini 15 tahun sudah berlalu, cerita itu sudah lama. Kami tak mau membuka
luka di hati kami semua, apalagi ibu, yang saat itu harus menjadi tulang
punggung keluarga dengan Farhan yang masih bayi. Sebab itulah, sampai sekarang
kami tidak pernah bertanya dan mencari tempat jauh yang bapak tuju itu
sebenarnya ada dimana. Bahkan, di depan Farhan kami harus berbohong bahwa bapak
meninggal karena sakit.
Ya Tuhan, itu hidupku..Ah, mataku semakin mengantuk saja
meningat gambaran hidup kami. Izinkan aku tidur sebentar saja, untuk mengisi
tenaga, dan izinkan aku terbangun kembali untuk memeluk ibu, abang, dan adikku.
Pukul 01.05 Wita, aku terbangun dengan tubuh yang di
guncang-guncang oleh kondektur bus, katanya aku mau diantar sampai mana. Kurasa
aku tertidur dengan waktu lama, hingga tak sempat mengucapkan salam perpisahan
dengan teman dudukku tadi, ah, memangnya sebelumnya kami salam sapa apa ? tapi,
tadi dia meminta izin kepadaku, apa boleh dia duduk di sebelahku..Fanya,
Fanya,,
Kukatakan pada kondektur, untuk mengantar sampai Terminal
Serampai. Aku mengirim sms kepada abang untuk menjemputku disana. Sesampanya di
terminal sekitar 7 menit aku menunggu akhirnya datang juga, tapi itu bukan
abang. Ya ampun adikku jam segini masih sempat-sempatnya menjemputku. Aku
melontarkan maaf karena merepotkannya. Farhan bilang, abang sudah tidur dan dia
melihat pesan singkat dariku dan dirinya pun bergegas untuk menjemputku.
Saat sampai di halaman rumah, ternyata banyak kemajuan, cat
rumah sudah berubah lebih berwarna, toko abang semakin diperbesar, sangat jauh
dengan 6 bulan kedatanganku yang lalu.
Komentar
Posting Komentar