Rongga Kehidupan Manusia, Agama Penyusun Kesatuan Kita
Indonesia adalah
sebuah Negara yang kaya akan pulaunya bak zamrud khatulistiwa. Membentang dari
Sabang sampai Merauke. Tak hanya itu saja, namun juga berlimpah ruah kekayaan
sumber daya alamnya . Hal itulah yang menjadi suatu nilai estetika dari negeri
seribu candi tersebut. Sejak zaman nenek moyang terdahulu, Indonesia sudah
ramai disinggahi oleh pedagang-pedagang asing yang berlabuh untuk mencari
rempah-rempah. Mulai dari pedagang Arab, Gujarat, Cina, India, bahkan bangsa
eropa yang pada akhirnya menjajah bangsa ini hanya untuk memburu dan memonopoli
rempah-rempah tersebut. Indonesia pun menjadi jalur perdagangan bolak-balik karena
letaknya yang geografis hingga disebut jalur sutra.
Di sisi lain mereka tidak hanya berdagang saja
melainkan mereka juga membangun interaksi yang baik kepada penduduk lokal. Yang
nantinya melahirkan pertukaran budaya misalnya, perkawinan silang antara
pedagang asing dengan penduduk Indonesia. Seperti yang sudah kita ketahui
tentunya bahwa, agama-agama yang ada di Indonesia dibawa melalui perantara
pedagang-pedagang asing tersebut. Selain melakukan kegiatan dagang ternyata
mereka juga menyebarkan agama yang di bawa dari tanah kelahiran mereka.
Hindu adalah agama yang pertama kali membaur dengan
masyarakat Indonesia sejak abad ke 2 M. Buddha masuk ke Indonesia pada abad ke
4 M, kemudian disusul oleh agama islam yang dibawa oleh para pedagang Arab,
Gujarat, yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, yang selanjutnya disebarkan oleh
para Walisongo. Disusul oleh agama kristen yang dibawa pertama kali oleh
Fransiscus Xaverius. Dan kemudian agama Konghuchu yang mendominasi masyarakat
Tionghoa di Indonesia.
Dengan adanya agama-agama yang masuk ke Indonesia
menjadikan masyarakat awam yang awal mulanya animisme untuk lebih teratur, dan
berpedoman dalam hidupnya. Agama di Indonesia memegang peranan penting dalam
kehidupan masyarakat. Hal ini sesuai dalam ideologi bangsa Indonesia,
Pancasila, dalam sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Adanya agama di
Indonesia juga mempengaruhi secara kolektif terhadap politik, ekonomi, dan
budaya. Pada sensus tahun 2010, 87,18% dari 237.641.326 penduduk Indonesia
adalah pemeluk islam. 6,96% penganut protestan, 2,9% penganut katolik, 1,69% penganut hindu, 0,72%
penganut buddha, 0,05% penganut kong hu chu, 0,13% penganut agama lainnya, dan
0,38% penganut lain.
Sesuai dalam pasal 29 ayat 2 UUD 1945 yakni, “Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu”. Negara Indonesia adalah negara demokrasi yang
berlandaskan nilai-nilai Pancasila, kita bukanlah negara-negara islam.
Negara demokrasi yakni dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Yang tentunya negara ini tidak mengakui warga negaranya
jika mereka adalah penganut atheisme. Indonesia pun hanya mengakui enam agama
yakni, islam, buddha, hindu, katolik, protestan, dan konghuchu.
Sila pertama menggambarkan bahwa masyarakat kita sadar
akan pentingnya agama dalam kehidupan mereka. Menunjukkan bahwa Tuhan adalah
sebab pertama dari segala sesuatu, Yang Maha Esa, dan segala sesuatu bergantung
kepadaNya, dan dari situlah manusia Indonesia mengembangkan toleransi antar
umat beragama, sikap saling menghargai, dan tidak membatasi satu sama lain,
diberikan ruang gerak untuk hidup.
Kehidupan beragama di Indonesia tercermin dengan
diakuinya eksistensi keenam agama tersebut. Agama-agama itu merupakan potensi
dan kekayaan yang utama bagi pembinaan mental dan spiritual bangsa. Sebab, tiap
agama dalam ajarannya mewajibkan umatnya untuk mencintai sesamanya, hidup
rukun. Aspek kerukunan merupakan nilai
yang dapat ditemukan dalam aktivitas sosialnya. Kerukunan merupakan nilai yang
universal, dan terhadapnya semua manusia berkepentingan untuk merealisasinya .
Oleh sebab itu semua manusia melalui agamanya, berusaha mengadakan suatu
kerjasama baik intern umat maupun antar umat beragama.
Untuk ini agama menghadapi tantangan-tantangan yang
begitu besar dalam menghadapi perubahan yang terjadi di dunia ini mengingat
peradaban manusia semakin maju, ilmu pengetahuan dan teknologi yang canggih,
kita tidak mungkin menutup diri dari globalisasi.Disinilah agama berperan
penting dalam mengokohkan jiwa-jiwa seorang manusia dalam menghadapi tantangan
hidup di era globalisasi. Maraknya ancaman, gangguan, dan
hambatan yang bisa saja sewaktu-waktu menggoyahkan persatuan masyarakat
Indonesia, merusak nilai-nilai moral dan kearifan lokal yang dimiliki oleh
bangsa kita.
Kebanyakan
krisis yang dialami bangsa ini karena arus globalisasi dimana dunia semakin
kecil dan saling mempengaruhi antar bangsa tak dapat dihindari. Dampak negatif
juga muncul adalah terjadinya pergeseran nilai-nilai dan orientasi manusia,
yakni selalu menganggap hidup ini buruk, selalu ingin menundukkan alam, bekerja
hanya untuk mendapatkan suatu kedudukan tertentu, dan berkembangnya sifat-sifat
individualistis.
Oleh
sebab itu agama sangatlah berperan penting jika kita melihat tolok ukur dari
jalannya kehidupan manusia. Agar kita tidak senantiasa serakah, mau menang
sendiri, berbuat sekenanya. Walaupun sudah ada hukum yang berlaku namun tanpa
adanya penguatan agama semua ini tidak bisa kita capai dengan hasil yang
maksimal. Masyarakat Indonesia bukan merupakan masyarakat yang tergolong kecil,
sampai saat ini bangsa kita masih dikatakan sebagai negara berkembang karena
tingkat pertumbuhan penduduk yang meledak dengan ragam suku budaya dan agama
yang dianut sesuai dengan kemauan individu itu sendiri. Lantas, apakah tidak
menyebabkan perpecahan diantara kelompok hubungan sosial itu ? bagaimanakah
solusi kita dalam menghadapi perbedaan yang terjadi di sekeliling kita ?.
Perbedaan
bukanlah suatu hal yang diartikan sebagai bahan untuk memecah belah suatu
kesaatuan. Perbedaan ada untuk saling melengkapi satu sama lain. Dari perbedaan
itulah kita belajar menghargai, dan saling berbagi sesama individu ciptaan
Tuhan. Sama halnya dengan agama yang dianut oleh berjuta-juta masyarakat
Indonesia. Kita hidup saling berdampingan satu sama lain karena, pada dasarnya manusia
adalah makhluk sosial. Dengan adanya perbedaan agama di antara masyarakat kita,
timbulah rasa toleransi, sikap saling menghargai. Misalnya saja Andi seorang
muslim diantara ketiga temannya yang beragama Kristen, saat itu mereka sedang
kerja kelompok bersama dan tiba-tiba adzan zuhur berkumandang, Andi pun meminta
izin untuk menunaikan salat terlebih dahulu dan ketiga temannya mempersilahkan untuk
menunaikan ibadah salat. Hal
semacam itu menunjukkan salah satu bentuk kecil rasa saling menghargai diantara
umat beragama di Indonesia.
Sikap-sikap
seperti itu perlu untuk terus di lestarikan, dan di jaga untuk diturunkan
kepada anak cucu kita nantinya. Coba saja kita lihat apa yang terjadi saat ini
sangatlah memprihatinkan seperti kasus Ahmadiyah di Jawa Barat dan Banten,
khususnya yang menghebohkan yaitu penganiayaan dan pembunuhan pengikut aliran
Ahmadiyah di Cikeusik, Pandegelang, Banten. Pelakunya pun hanya dihukum
beberapa bulan penjara dan kelompok massa yang melakukannya tidak tersentuh oleh
hukum. Juga kasus penganiayaan dan pengusiran dari kampungnya penganut aliran
Syiah di Sampang Madura yang sampai saat ini masih menjadi pengungsi, kasus
lain yang belum terselesaikan adalah GKI Yasmin di Bogor yang IMB-nya dicabut
oleh pemerintah setempat dan setelah di proses di pengadilan dan Mahkamah
Agung, kasus itu dimenangkan oleh gereja. Juga HKBP Filadelfia Bekasi yang
diserang massa dan tanahnya disegel oleh bupati. Padahal, pengadilan PTUN
memenangkan gereja itu. Sesungguhnya masih banyak kasus-kasus yang berkaitan
dengan agama.
Mengapa hal
semacam itu masih saja terus terjadi padahal pada tahun 2013 SBY diberi
penghargaan sebagai “Negarawan Dunia 2013” atau World Statesman Foundation 2013
oleh The Appeal Of Conscience Foundation (AFC) yang berkantor di New York USA.
SBY dianggap berprestasi dalam pembinaan kerukunan umat beragama di Indonesia.
Namun, penghargaan semacam itu dinilai kurang sesuai oleh masyarakat, dianggap
sinis oleh rakyat kita mengingat masih banyaknya kasus-kasus mengenai agama di
Indonesia ini. Bukankah zaman saat ini sudah lebih mudah untuk mengeluarkan
aspirasi, berbeda dengan pemerintahan orde lama dahulu, dimana orang-orang yang
tidak memiliki agama akan dibunuh, karena adanya perintah seperti itulah yang
juga membuat masyarakat kita memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) agar rincian
status kewarganegaraannya lebih jelas. Kendala-kendala yang sering dihadapi
masyarakat kita dalam kehidupan beragama yakni makin rendahnya sikap toleransi,
masing-masing agama mengakui kebenaran agama lain, tetapi kemudian membiarkan
satu sama lain bertindak dengan cara yang memuaskan masing-masing pihak. Yang
terjadi hanyalah perjumpaan tak langsung, bukan perjumpaan sesungguhnya.
Sehingga dapat menimbulkan kecurigaan diantara beberapa pihak yang berbeda
agama, maka akan memicu sebuah konflik. Belum lagi saat ini agama
dikait-kaitkan dengan kepentingan politik, seperti munculnya kekacauan politik
yang berimbas pada kerukunan agama, memporak-porandakkan keutuhan yang selama
ini sudah kita bangun.
Kemudian
timbulnya sikap fanatisme, seperti yang terjadi di Indonesia telah tumbuh
beberapa pemahaman keagamaan yang dikategorikan sebagai islam radikal dan
fundamentalis. Banyaknya pandangan mengenai Islam bahwa Islam satu-satunya
agama yang benar dan dapat menjamin keselamatan manusia. Dengan saling
mengandalkan anggapan dan pandangan tersebut, jiwa-jiwa persatuan kita habis
dan terkikis sedikit demi sedikit dan timbullah sikap fanatisme yang
berlebihan.
Sudah seharusnya
kita menyadari hal semacam ini terjadi, jangan hanya memperhatikan bagaimana
ekonomi Indonesia maju, namun di sisi lain kerukunan beragama di Indonesia
banyak menyebabkan pertumpahan darah. Bukan hanya pemerintah saja yang campur
tangan masalah seperti ini, karena ini menyangkut kita semua, sudah sepatutnya
kita sadar. Misalnya dengan hal-hal sederhana seperti kerja bakti, bukankah
kegiatan semacam itu dapat menumbuh kembangkan persatuan ? Gotong royong yang
sekarang juga sudah hampir dikatakan tidak lagi kita temui. Yang hanya
dilakukan di daerah desa-desa saja, tak bisa kita temukan di daerah perkotaan.
Dalam upaya
untuk meningkatkan kerukunan hidup beragama dimaksud, diperlukan bagi setiap
orang kelompok atau umat agar saling tenggang rasa dan lapang dada. Diharapkan
akan lahir perasaan saling menghargai, hormat-menghormati, baik antara kelompok
umat beragama yang satu dengan yang lain.
Agama haruslah
dipahami sebagai hal yang totalitas dan teratur serta diwujudkan dalam pikiran,
perkataan, dan perbuatan. Apabila agama dilihat sebagai hal sepotong-sepotong
maka akan banyak menimbulkan kritik terhadap agama. Jika kita melihat dari misi
agama semuanya sama yakni menyerukan kepada semua manusia untuk berbuat
kebaikan. Jika semua agama menjalankan hal ini, tidak ada masalah dan tidak
akan terjadi konflik agama. Namun, masalah akan muncul tatkala agama menjadi
amat ambivalen. Nilai-nilai luhurnya sering terpuruk menjadi topeng bagi
hipokrisi, menjadi alat manipulasi psikologis yang menanamkan fanatisme sempit dan
menyebar kebencian, serta tidak jarang menjadi sumber pertumpahan darah.
Pernahkah anda
melihat film Indonesia yang berjudul “?” (tanda tanya) ?. Jika melihat sedikit
dari film tersebut kita dapat memetik kesimpulan bahwa sikap toleransi itu
sangatlah penting. Sekecil apapun itu, dampaknya sangatlah besar bagi kita
semua. Tidak membatasi seseorang untuk beribadat menurut agama dan
kepercayaannya itu. Berbagai upaya memang harus ditempuh, mengingat kita berada
di era globalisasi. Perlunya pertemuan antara pemuka-pemuka agama. Juga
Departemen Agama meningkatkan penerangan agama kepada masyarakat dan
menyampaikan hal-hal yang peka dari agama supaya tidak dilanggar. Para aparat
penegak hukum harus cepat tanggap jika terjadi pencemaran agama, dan
menyelesaikannya secara hukum dan adil, dan cepat. Yang terpenting juga
pemberdayaan masyarakat-masyarakat tertinggal agar tidak makin jauh
ketertinggalannya dengan masyarakat-masyarakat lainnya yang lebih maju. Upaya
tersebut akan dapat mengurangi jarak sosial, ekonomi dan budaya masyarakat yang majemuk.
Karena kita
adalah bangsa Indonesia, kita sudah sepakat untuk bersatu padu. Ibaratnya kita
ini adalah sel yang terkecil yang membentuk jaringan dan berkumpul, menyatu
membentuk organ untuk satu kesatuan yang sama dan terciptalah kesempurnaan
bentuk organ tersebut. Kita adalah bangsa yang majemuk, “Bhinneka Tunggal Ika”,
sila ketiga “Persatuan Indonesia”. Mari buka mata, buka hati, buka telinga agar
diantara kita saling peka dan saling peduli. Bersama mengepakkan sayap garuda
memperbaiki sela-sela kerusakan yang selama ini tidak kita sadari. Hidup dalam
keharmonisan adalah sebuah simponi yang mengalunkan nada-nada terindah.
Komentar
Posting Komentar