Setiap kali hujan
datang, aku tahu kau tak pernah meminta ataupun pamit padaku. Setiap rintik
yang mengguyur debu-debu kota dan menguapkan aspal, aku sadar kau tidak akan
pernah tertarik dan menengok atauapun membiarkan itu memberikannya kepadaku.
Kaulah yang ditunggunya disana…
Setiap kali hujan
menghampiri, aku bertanya-tanya. Kenapa denganku, apa yang salah darimu
sampai-sampai terus menerus mengingatmu dalam kedangkalan. Padahal belum tentu
kau masih mengingatku, semuanya sudah terlampaui lama sekali, bukan ?
Aku salah pabila
menganggap hujan itu menyakitkan. Harusnya aku bersyukur bahwasanya ini adalah
anugerah dari Tuhan. Ini adalah keajaiban, air yang datang dengan sendirinya
yang memiliki volume tak terhitung. Sepantasnya aku berfikir bahwa ini sejuk,
ini nyaman, ini mendamaikan.
Namun, setiap kali
datang aku terus menerus menghindar dengan sesak yang kualami sepanjang aku
berjalan. Setiap airnya yang jatuh menetes yang akhirnya akan berpijak di bumi
memberikan kehidupan. Memang hujan ini adalah titik-titik kalimat mengenai
cerita singkat “Kita”.
Sejujurnya kau tidak
bersalah, hanya sisi lain darimu yang membuat semuanya terlihat indah ternyata
menyakitkan. Biarkan aku yang salah, aku yang memang pantas menerimanya, ya kan
? Tak baik jika membawa mati kesalahan dibalik kesalahan yang hanya menyisakan
dendam.
Setiap detik yang pernah
terlewati antara “Kita” kau tak menyadari ada hal lain yang ku rasakan, bukan ?
Kau takkan percaya dengan gadis gila itu bukan ? Kau takkan menyadari bahwa di
setiap kata bicaranya dengan nada yang tak biasa kau dengar adalah keseriusan
yang tak kasat, bukan ?
Demi detik yang mampu
menentangnya… entah kapan lagi kita akan dipertemukan. Ini sudah sangat kuno.
Dan aku berhasil menyimpannya rapat-rapat darimu tanpa tercium baunya. Padahal
kau kan orang peka. Dalam hujan lagikah kita dipertemukan atau dalam situasi
yang tak terduga.
Dan setiap hujan datang,
rinainya menyusun kisah klasik itu dengan memoar yang tak bisa kulupa….
Samarinda, 23 April
2015.
Komentar
Posting Komentar